RSS

Humas / Konteks Historis Praktek Humas Di Indonesia


Pendahuluan
Perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial budaya suatu masyarakat menjadi salah satu kunci lahirnya praktek public relation. Contohnya dapat kita lihat di negara Amerika, adanya kritik tajam dari kelompok berkepentingan terhadap organisasi berbisnis telah mendorong dipraktekannya public relation sebagai bagian dari organisasi untuk merespon tempat organisasi tersebut beroperasi. Di dalam buku kehumasan yang ditulis Jan Quarles, profesor humas pada RMIT ( Royal Melbourne Institute of Technology ) praktek dan penelitian tentang  kehumasan di Indonesia digambarkan sangat sedikit. Tulisan ini akan menggambarkan perkembangan praktek kehumasan, profesi kehumasan, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan praktek kehumasan di Indonesia, serta kendala-kendala pengembangan kehumasan di Indonesia.
Sejarah Praktek Humas di Indonesia
            Perkembangan praktek kehumasan di Indonesia dibagi menjadi 4 bagian secara garis besar. Periode pertama biasa disebut periode perkembangan. Periode kedua, kedatangan perusahaan multinasional setelah kemerdekaan indonesia. Periode ketiga, adanya kebijaksanaan dari pemerintah untuk menarik modal asing dengan dikeluarkannya UU PMA tahun 1967. Periode keempat, ekspansi besar-besaran perusahaan swasta di Indonesia karena adanya kebijakan deregulasi (perbankan) tahun 1983.
Periode 1: tahap awal
            Praktek humas modern di Indonesia sama usianya dengan usia RI menurut para praktisi senior di bidang humas. (lihat misal Dahlan, 1978,h. 7, dan muntahar 1985) begitu juga pendapat W.Noeradi, seperti dikutip Putra, 1996). Menurut Alwi Dahlan, para pendiri negara RI menyadari sangatlah penting untuk negara baru dikenal di area internasional setelah kemerdekaan RI, hal tersebut berguna untuk mendapat pengakuan dari negara lain. Menurut Alwi, usaha-usaha kehumasan sebelum dan sesudah kemerdekaan sangat besar sumbangannya pada keberhasilan perjuangan Indonesia untuk menjadi negara merdeka. Usaha ini memang belum dapat disebut humas, tetapi sebagai kampanye informasi atau sejenisnya. ( Dahlan, 1978, h. 8 ).
            Tetapi, usaha konferensi pers yang dilakukan telah masuk sebagai kegiatan kehumasan. Karena kegiatan ini termasuk salah satu teknik hubungan media. Selain itu usaha membantu India dengan mengirimkan beras masuk kedalam kegiatan public relations, dengan pendekatan manajemen.
Periode Kedatangan Perusahaan Multinasional
            Kedatangan perusahaan multinasional, seperti PT Caltex Pasific Internasional, PT Stanvac dan lainnya, awal tahun 1950 melahirkan era baru dalam humas di Indonesia. PT Caltex menggunakan PR untuk memperkenalkan kedatangan mereka di Indonesia dengan tujuan yang baik. Di saat bersamaan, RRI dan kepolisian RI membentuk bagian humas dalam struktur organisasi mereka.
Periode Tiga : Pemerintah Orde Baru ( 1966- awal 1980s )
            Pada masa ini terdapat tiga hal menarik yang dapat dipelajari :
1.      Pertumbuhan organisasi bisnis
Organisasi bisnis milik swasta ataupun negara mendorong peningkatan kebutuhan akan tenaga humas. Menurut Alwin Dahlan (1978), akhir 1960 hampir semua departemen pemerintah mempunyai bagian humas. Perusahaan asing awal 1970-an hampir semua mempunyai bagian kehumasan. Untuk perusahaan konsultasi kehumasan, tokoh yang menonjol adalah Dr.Alwi Dahlan (memperoleh PhD dari Universitas Illinois AS memimpin PT Inscore).
2.      Pembentukan PERHUMAS (Perhimpunan Hubungan Masyarakat)
Tahun 1972 dibentuk PERHUMAS sebagai usaha untuk meningkatkan profesionalisme para praktisi humas di Indonesia. Keanggotaan terbatas, dan baru berkembang pada tahun 1980-an. Kegiatannya berupa konvensi tahunan, menerbitkan news-letter, tahun 1981menjadi tuan rumah FAPRO.
3.      Terbentuknya BAKOHUMAS (Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat)
Terbentuk bakohumas berdasarkan SK Menteri Penerangan No.31 tahun 1971. Sebelumnya terdapat BKS(Badan Kerja Sama) 1967 yang diganti Bakor Humas tahun 1970 karena dianggap kurang berhasil.
Periode Empat: Pertengahan Tahun 80-an sampai Saat Ini
            Profesionalitas humas baru berkembang pada masa ini. Meningkatnya praktek humas profesional karena kebijakan deregulasi ekonomi tahun 1983 dan privatisasi di beberapa sektor. Dalam periode ini juga lahir sejumlah perusahaan bidang humas, sebagian merupakan perkembangan perusahaan periklanan. Pembentukan APPRI ( Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia ) pada April 1987 merupakan tonggak penting perkembangan praktek humas di Indonesia. Perusahaan humas juga mengalami pertumbuhan. Pada tahun 1994 ada sekitar 90 perusahaan PR yang 55 diantaranya menjadi anggota APPRI.
Periode Lima: Pasca Orde Baru
            Reformasi politik yang terjadi sejak tahun 1998 berimplikasi pada pengakuan terhadap kebebasan berkomunikasi, yakni adanya pengakuan jaminan terhadap hak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Dengan adanya kebebasan ini, praktek humas yang dijalankan oleh organisasi pun harus siap mengantisipasi, terutama yang berkaitan dengan kebebasan pers, karena pers kini tidak lagi takut untuk membongkar praktek-praktek buruk perusahaan dan pemerintah. Jadi era reformasi atau praktek humas yang ada sekarang semestinya sudah mengarah pada model humas simetris dua arah seperti yang diusulkan oleh Gruning sejak lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Faktor Pendorong Perkembangan Praktek Humas
            Liberalisasi perekonomian Indonesia telah menciptakan pertumbuhan dunia usaha yang cukup dramatis. Ini akhirnya menentukan pertumbuhan akan kebutuhan praktisi humas yang berkualitas. Di samping itu, yang ikut mendorong meningkatnya kebutuhan akan praktisi humas, perbaikan dalam kondisi sosial politik sedikit banyak juga mempunyai andil dalam interaksi bisnis dan masyarakat. Juga karena masyarakat Indonesia yang menjadi lebih dinamis dan kritis, meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, adanya proses alih generasi dan meningkatnya perusahaan go publik, pengenalan teknologi komunikasi baru, serta globalisasi yang menyebabkan praktek humas berkembang.
Antar Struktur dan Profesionalisme
            Penempatan bagian humas yang cukup beragam dalam struktur organisasi mungkin penyebab perdebatan kaitannya mengenai perhumasan. Seharusnya humas ditempatkan di struktut tertinggi di perusahaan untuk pengambilan keputusan dsb. Tetapi pada kenyataannya kegunaan humas dalam perusahaan seringkali hanya berada di tingkat bawah. Kekurangpahaman terhadap apa sesungguhnya humas mungkin seringkali menjadi penyebab kesalahan penempatan humas. Juga kurangnya profesionalitas humas karena banyak orang yang menjadi humas tetapi bukan berasal dari pendidikan kehumasan.
Kesimpulan
            Perkembangan praktek kehumasan di Indonesia bukanlah praktek baru yang muncul setelah boom pertumbuhan ekonomi, tetapi telah dimulai sejak Indonesia memproklamirkan diri. Walaupun sudah cukup tua, tetapi persoalan profesionalisme masih menjadi ganjalan yang cukup berarti. Hal ini mungkin karena pandangan pemakai yang kurang tepat terhadap makna humas yang sesungguhnya. Masalah profesionalitas mungkin juga karena ketiadaan pendidikan yang cukup memadai bagi praktisi humas. Dapat dikatakan bahwa perlahan humas akan menjadi lebih profesional di masa mendatang, karena usaha yang telah dilakukan oleh organisasi profesi humas dan mulai tumbuh lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ketrampilan tentang humas.

MetodePenelitianKuantitatif/ Pengenalan Proses Metode Penelitian Survei



Setelah dipertemuan sebelumnya telah mempelajari mengenai beberapa paradigma yang ada, selanjutnya pada pertemuan kali ini kita akan lebih dalam membahas tentang penelitian survey. Apakah itu penelitian survei ?, pengertian penelitian survei menurut buku Metode Penelitian Survai ( 1981, hal 3 ) ialah penelitian yang mengambil sample dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.
Dalam penelitian survei, terdapat beberapa tahapan proses dalam melaksanakan penelitian ini. Proses penelitian survei dimulai dari minat yang datang dari peneliti itu sendiri untuk mengetahui masalah sosial atau fenomena sosial tertentu. Setelah itu dilanjutkan dengan merumuskan masalah penelitian dan menentukan tujuan survei, menentukan konsep dan hipotesa serta menggali kepustakaan ( pada penelitian operasional hipotesa tidak dibutuhkan ), pengambilan sampel, pembuatan kuesioner, pekerjaan lapangan, pengolahan data, dan diakhiri dengan analisis dan pelaporan.
Selanjutnya pada tahap teoritisasi, peneliti menggunakan konsep dan proposisi untuk menggambarkan fenomena sosial yang diamatinya. Selain itu dia memerlukan teori untuk menerangkan mengapa satu konsep berhubungan dengan konsep lainnya. Peneliti memerlukan kerangka konsep dan kerangka teori untuk memudahkan penelitiannya. Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah yang menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut dengan konsep, yaitu istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak: kejadian, kelompok, keadaan, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui kerangka konsep diharapkan peneliti dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian ( events ) yang berkaitan satu dengan yang lainnya.  Dalam penelitian akan ada 2 jenis konsep : 1. Konsep yang jelas hubungannya dengan realita, 2. Konsep yang lebih abstrak hubungannya dengan fakta.  Konsep jenis pertama dapat diamati secara langsung serta mudah diukur, contohnya adalah meja. Sedangkan konsep jenis kedua lebih banyak diamati dalam penelitian sosial, tidak mudah menghubungkannya dengan fenomena yang diacunya. Contoh konsep jenis kedua adalah kekerabatan, sosialisasi, sikap, kecerdasan, dan lain sebagainya. Peranan konsep dalam penelitian sangat besar karena dia adalah menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara abstraksi dan realitas. Berbeda dengan kerangka konsep, kerangka teori mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
Dalam pengumpulan data, terdapat 3 cara, diantaranya : penentuan sample, pembuatan kuesioner, dan teknik wawancara. Dari cara-cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Penentuan sample menggunakan cara meneliti sebagian dari populasi dengan mengharapkan bahwa hasil yang diperoleh akan dapat menggambarkan sifat populasi bersangkutan. Ada 4 faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan besarnya sample dalam suatu penelitian : 1. Derajat keseragaman dari populasi, 2. Prepesisi yang dikehendaki dari penelitian, 3. Rencana analisa, dan 4. Tenaga, biaya, dan waktu. Dalam penelitian survei, pembuatan kuesioner merupakan hal yang pokok untuk pengumpulan data. Tujuan dari pembuatan kuesioner itu sendiri untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan survei , dan memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi mungkin. Untuk memperkaya pengertian peneliti tentang fenomena sosial dan proses sosial, diperlukan berbagai informasi lainnya. Informasi yang diperoleh dengan cara lain, yaitu wawancara bebas, observasi berpartisipasi, studi kasus, dan lain-lain akan sangat membantu. Cara terakhir dalam pengumpulan data adalah dengan teknik wawancara. Dengan teknik ini peneliti mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada koresponden. Pewawancara diharapkan menyampaikan pertanyaan kepada koresponden, merangsang responden untuk menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila dikehendaki, dan mencatatnya.
Dalam menganalisis data, peneliti dapat melakukan 4 cara, diantaranya : mengkode data, pengolahan data, prinsip analisa data, dan metode analisa standarisasi. Dalam analisis data mengkode data yang ada merupakan hal pertama yang harus dilakukan. Peneliti perlu memutuskan terlebih dahulu perlukan jawaban yang ada dikategorikan. Tahapan-tahapan harus dilaksanakan setiap pertanyaan dalam kuesioner satu demi satu. Pemberian kode untuk setiap jawaban merupakan isi pokok sebuah buku kode. Setelah penyusunan buku kode, peneliti siap mengolah data. Beberapa langkah yang harus dilakukan, pertama, masukan data kedalam kartu / berkas data. Kedua, membuat tabel frekuensi. Ketiga, mengedit yaitu mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi.
Setelah melalui kesemuanya, tahap terakhir yang merupakan buah karya peneliti ialah hasil penelitian tersebut dalam bentuk karya tulis. Penulisan hasil penelitian seyogyanya benat-benar memperhatikan cara penulisan yang tepat, bahasa yang baik, dan menghasilkan karya tulis dengan bahasa yang logis dan runtut. Karena penilaian penelitian baru dapat diberikan berdasarkan karya tulis yang dihasilkan.






DAFTAR PUSTAKA
1.      Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian. 1981. Metode Penelitian Survei. Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2.      Prajarto, Nunung. 2010. Metode Survei Untuk Penelitian Komunikasi. Fisipol UGM : Yogyakarta.

MetodePenelitianKuantitatif/ Paradigma Penelitian Ilmu Sosial dan Penelitian Kuntitatif



Dewasa ini semakin banyak penelitian-penelitian menyangkut ilmu sosial. Banyak  muncul peneliti-peneliti baru yang mencoba membuat penelitian. Peneliti-peneliti baru harus terlebih dahulu memperhatikan dari perspektive mana mereka membuat penelitian. Dengan perspektif yang ditulis tersebut akan sangat menentukan paradigma yang akan kita pilih.  Dalam sebuah penelitian, peneliti harus mengerti terlebih dahulu mengenai paradigma. Paradigma menurut buku Guba (1990, hal.17) mempunyai definisi sebagai serangkaian keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Paradigma pada dasarnya merupakan sudut pandang peneliti dalam melihat penelitiannya.
Paradigma dibedakan menjadi tiga :
1.      Paradigma klasik                     :paradigma yang menempatkan ilmu pengetahuan menyelidiki sebab akibat fenomena. Sebagai metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan logika deduktif dengan pengamatan empiris, guna secara probabilistik menemukan atau memperoleh konfirmasi tentang hukum sebab akibat yang bisa dipergunakan untuk memprediksi pola-pola umum gejala sosial tertentu.
2.      Paradigma konstruktivisme     :paradigma yang memandang ilmu pengetahuan sebagai analisis sistematis yang disertai dengan pengamatan langsung langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka.
3.      Paradigma kritis                       :paradigma yang mencoba menghasilkan berbagai transformasi dalam tatanan sosial, dengan menghasilkan ilmu pengetahuan yang berciri historis dan struktural, yang dinilai menurut tingkat keterposisian sejarahnya dan kemampuannya untuk menghasilkan praksis, atau tindakan.


Dalam masing-masing paradigma terdapat 4 perbedaan yang khas :
1.      Ontologis : mengenai asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti.
2.      Epistemologis : mengenai asumsi mengenai hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.
3.      Metodologis : mengenai asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan
4.      Aksiologis : meliputi posisi “value judgments”, etika dan plilihan moral peneliti dalam suatu penelitian

Lebih mendalam tentang klasik secara epistemologi , ontologis, metodologis, dan aksiologis.
item
Positivisme
Post-positivisme
Teori kritis dkk
Kontruktivisme
ontologi
Realisme naif-
Realitas “nyata”
Namun bisa dipahami
Realisme kritis-
Realitas “nyata”
Namun hanya bisa dipahami secara tidak sempurna dan secara probabilistik
Realisme historis –realitas maya yang dibentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, etnik, dan gender; mengkrsital seiring perjalanan waktu
Relativisme –
Realitas yang dikonstruksikan secara lokal dan spesifik
epistemologi
Dualis/objektivis;
Temuan yang benar
Dualis/ objektivis yang dimodifikasi; tradisi/ komunitas kritis; temuan-temuan yang mungkin benar
Transaksional/ subjektivis; temuan-temuan yang diperantarai oleh nilai
Transaksional/ subjektivis;
Temuan-temuan yang diciptakan
metodologi
Eksperimental/ manipulatif; verifikasi hipotesis; terutama metode-metode kuantitatif
Eksperimental/ manipulatif yang dimodifikasi;
Keragaman kritis;
Falsifikasi hipotesis;
Bisa jadi meliputi metode-metode kualitatif
Dialogis/dialektis
Hermeneutis/dialektis
aksiologis
observer
observer
aktivis
fasilitator

Implikasi Paradigma dan Variasi Metodologi dalam Ilmu-Ilmu Sosial
Pengertian metodologi pada dasarnya menyangkut filsafat keilmuan, asumsi-asumsi, etika dan norma yang menjadi aturan-aturan standar yang dipergunakan untuk menafsirkan serta menyimpulkan data penelitian, berbeda dengan metode yang biasanya merupakan metode atau cara yang digunakan.
Metodologi sangat erat kaitannya dengan paradigma, karena paradigma tertentu melahirkan metodologi tertentu karena menyangkut nilai-nilai atau asumsi-asumsi tertentu tentang fenomena atau objek yang dikaji.
Di dalam materi ini kita ingin lebih membahas mengenai penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif lebih menekankan pada hasil yang absolute dan biasanya merupakan hal yang dapat dihitung, pengumpulan data dilakukan dengan survei, sensus, dan sebagainya, data numerik, analisisnya menggunakan statistik dan dilakukan sesudah data  diperoleh, dan instrumen yang digunakan adalah alat teknologis sistem.
Lingkup Penelitian Kuantitatif
·         Metode Eksperimental
Metode ini melibatkan dua kelompok, sampel yang terlibat harus diambil secara random, dan terdapat pre-test, test, serta terakhir pengukuran hasil berupa komparasi hasil penelitan, antara experimental dan control group.
·         Metode Analisis Isi
Metode ini sebagai metode yang meliputi semua analisis mengenai isi teks.
·         Metode Analisis Jaringan
Metode untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem.
·         Metode Survei
Suatu metode dengan melakukan survei kepada objek yang akan diteliti.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Guba,E.G.1990. The Paradigm Dialog. Newbury Park, CA:Sage. Hal 17-30
2.  Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian. 1981. Metode Penelitian Survei. Edisi Kedua. Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3. Denzin, Norman K. 2011. The Sage Handbook of Qualitatif Research (terjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Periklanan/ Sejarah Periklanan Dunia dan Indonesia



Seiring dengan perkembangan manusia, kita sering melihat iklan yang unik, lucu, ataupun seringkali menjadi hal yang aneh untuk dilihat. Perkembangan teknologi yang semakin canggih pun menunjang untuk membuat para konseptor iklan menjadi semakin mudah dan leluasa dalam merealisasikan ide-ide mereka untuk membuat berbagai macam iklan berikut efek ataupun desain yang diinginkan oleh konseptor. Tak jarang iklan yang ada saat ini sudah menjadi hal yang sangat wajib untuk para pengusaha mempromosikan produk mereka, pemerintah menginfokan iklan layanan masyarakat, untuk menginformasikan sebuah acara, ataupun hal-hal lainnya. Ternyata iklan atau advertising sudah ada sejak zaman dulu. Advertising dilakukan dalam berbagai bentuk “mempublikasikan” berbagai peristiwa (event) dan tawaran (offers). Metode iklan pertama yang dilakukan oleh manusia sangat sederhana. Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di gerbang kota menawarkan barangnya pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut. Iklan sudah dikenal manusia dalam bentuk pesan berantai yang bentuknya pengumuman-pengmuman. Pesan berantai itu disampaikan dari mulut ke mulut untuk membantu kelancaran proses jual-beli.
Iklan tertulis mulai ditemukan pada masa Babylonia 3000 SM berupa kepingan tanah liat (clay tablet) bertuliskan prasasti tentang dealer salep (ointment dealer), juru tulis (scribe) dan pembuat sepatu. Peninggalan Mesir dan Yunani Kuno berupa pengumuman-pengumuman di dinding dan naskah di daun papirus, memberikan pengumuman tentang datangnya kapal pembawa anggur, rempah-rempah, logam, barang-barang dagangan baru, acara-acara (pertarungan gladiator) yang bakal digelar, budak yang lari dari tuannya. Orang-orang Roma mengecat dinding untuk mengumumkan perkelahian gladiator. Iklan pada jaman ini hanya berupa surat edaran. Karena masih banyak yang buta huruf, pengumuman-pengumuman itu dibacakan oleh tukang teriak (town crier) yang biasa didampingi pemain musik.
Terakota Yunani dan Romawi Kuno sudah digunakan untuk mengumumkan lost & found. Di reruntuhan kota Pompeii terdapat tanda-tanda di terakota yang mengiklankan apa yang dijual di toko : danging sapi (row of hams), sapi penghasil susu, kulit untuk sepatu. Disaping itu juga ditemukan bukti-bukti adanya pesan-pesan politik. Orang-orang Ponosea melukis gambar untuk mempromosikan perangkat keras mereka di batu-batu besar di sepanjang jalur parade. Di Pompei misalkan, banyak lukisan seorang tokoh politisi dan meminta dukungan suara dari masyarakat. Di Perancis, traditional advertising sudah marak tahun 550Sebelum Masehi untuk mengiklankan kaum negro sebagai budak.
Pada zaman Julius Caesar di eropa banyak toko dan penginapan yang sudah pakai tanda, papan nama, atau simbol, untuk membantu mereka yang buta huruf. Misalnya penginapan dengan simbol Man in The Moon, Three Squirrels, Hole in The Wall. Untuk ribuan tahun-tahun awal, orang beriklan untuk mempromosikan dua hal, tempat dan jasa. Iklan di bawah ini adalah contoh pertama. Begitu juga plang di depan kedai minum dan penginapan. Demikian pula berbagai gambar di batu cadas(rock paintings) di berbagei situs lama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan kehadiran “iklan” di masa lalu.
Masa setelah ditemukannya mesin cetak
Penemuan mesin cetak Gutenberg 1450 meningkatkan angka melek huruf sehingga merangsang orang untuk berbisnis iklan. Periklanan jadi bisnis massal. Bentuk awalnya berupa poster,handbill (selebaran), dan iklan baris (classified) di surat kabar. Pada tahun 1472 William Caxton di London mencetak iklan berbahasa Inggris pertama berupa selebaran (handbill) berisi tuntunan keagamaan tentang perayaan paskah (rules for the guidance of the clergy at easter). Versi lain mengatakan iklannya berupa penjualan injil (prayer book). Awal abad 16 dan 17 yang banyak ditampilkan adalah iklan tentang budak belian, kuda buku, obat. Sebagai bentuk printed advertising, periklanan berkembang di awal abad 15-16. Beberapa waktu kemudian mulai muncul metode iklan dengan tulisan tangan dan dicetak di kertas besar yang berkembang di Inggris. Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial Intelligencer Maret 1648.
Pada tahun 1622 Surat kabar terbit di Inggris terbit untuk pertama kalinya,The Weekly News kemudian disusul The Tattler yang terbit tahun 1709 dan The Spectator yang terbit pada 1711. Ketiga Koran ini merupakan media cetak yang membawa lembaran iklan secara piggy-back. Pada tahun 1655 istilah iklan (advertisement) muncul pertama kali dalam injil untuk menunjuk istilah “peringatan”/“pemberitahuan” (warning/ notification). Pada tahun 1660 mulai istilah itu dipaka untuk keperluan informasi komersial (commercial information), khususnya oleh para saudagar toko.Pesan-pesan iklan lama kehalaman semakin simple dan inovatif sejak tahun 1700 dan 1800-an. Pada tahun 1690 lahir Public Occurencs Both Foreign and Dometic, Koran (tidak harian) pertama di Amerika hanya membuat satu berita (issue).
Periklanan secara nyata mulai menunjukkan kemajuan di awal abad 17 di Inggris untuk mempromosikan buku dan Koran yang mulai berkembang.Pada abad ke-17 di Inggris, pesan-pesan komersial masih berbentuk poster atau selebaran lepas yang dikirim dalam lipatan surat kabar. Produk yang paling banyak diiklankan pada masa ini adalah buku dan obat-obatan. Pada tahun 1704 Boston Newsletter, koan AS pertama yang muat iklan, berupa tawaran hadiah bagi yang bisa menangkap pencuri baju.
Iklan-iklan media cetak pada abad 18 umumnya ditunjukan pada sasaran pembaca di Eropa yang menyebutkan adanya tanah-tanah garapan yang menantang untuk masa depan di Amerika. Salah satunya iklan ada tanah 150 ha di Philadelphia. Pada tahun 1729 Iklan pertama di surat kabar “ Pennysilvania Gazette” yang terbit di Amerika Serikat. Amerika waktu itu masih menjadi wilayah jajahan Inggris, dan surat kabar yang didirikan oleh Benjamin Franklin itu berhasil mencapai tiras tertinggi serta pendapatan iklan terbesar pada masanya.
Pada tahun 1740 poster cetak outdoor pertama muncul di London (disebut “hoarding”).
Pada tahun 1776 muncul iklan proklamasi kemerdekaan AS di Pennsylvania Evening Post and Daily Advertiser, Koran yang terbit secara harian pertama di AS.
Ketika aktivitas perekonomian mulai meningkat diberbagai penjuru dunia, di abad 18-an, di Amerika Serikat, periklanan mulai mendapat perhatian besar. Beberapa toko di Eropa mulai berfungsi sebagai agen yang mengumpulkan iklan untuk surat kabar. Bisa jadi Sears catalog menjadi inspirasi bagi lahirnya iklan display di media cetak. Sears adalah pelopor rantai toko (chain stores) di A.S yang kemudian berkembang menjadi department stores. Kehadiran Sears yang menjual berbagai barang secara lengkap menggantikan toko-toko serupa berskala kecil yang pada waktu itu disebut dengan mercantile.
Untuk memudahkan pelanggan, karena pada masa itu transportasi masih terbatas, Sears menerbitkan katalog tentang semua barang yang dijual dan para langganan dapat memesan melalui pos (mail order). Setiap barang yang ditawarkan ditampilkan secara menarik dengan foto-foto dan gambar-gambar yang atraktif. Begitu populernya Sears Catalog di masa lalu, sampai-sampai ia disebut sebagai Injil Petani (Farmers Bible)
Tampilan dan peragaan produk seperti di Sears Catalog itulah yang kemudian dijumpai di berbagai surat kabar dan majalah di Amerika Serikat, serta kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di masa kini penampilan seperti itu sering disebut sebagai display advertising (iklan komersial). Pada abad ke-19 mulai dikenal pembelian ruang iklan melalui agen perseorangan (menyalurkan lagi ke perusahaan periklanan). Pada masa dinasti Edo di Jepang, awal abad-19 selebaran yang didistribusikan bersama surat kabar juga banyak membawa pesan-pesan komersial, khususnya tentang obat-obatan. Pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai bergerak pesat pada awal abad ke-19 akhirnya memicu hadirnya iklan di surat kabar amerika Serikat, beberapa surat kabar mulai memuat pesan-pesan singkat tentang produk, tampil dengan huruf-huruf kecil di dalam kotak, di antara berita dan Tulsan lain. Iklan yang saat ini disebut sebagai classified advertisement ini mempromosikan berbagai jenis barang dan jasa. Advertising modern sendiri yang mulai berkembang tahun 1960an, jauh berbeda dengan advertising masa lampau. Pada tahun ini, periklanan menemukan bentuknya yang modern dengan karya-karya kreatif yang menakjubkan. Perintis iklan dengan landasan karya kreatif yang digarap secara apik ini dipelopori oleh seri iklan mobil kodok volkswagen yang menampilkan judul-judul seperti “Think Small“ dan “ Lemon.“ Iklan-iklan Volkswagen inilah yang meletakkan dasar positioning dan uniqe sallingproposition (USP) dalam periklanan yang masih dipegang hingga kini. Konsep ini mengikat (associate) setiap brand dengan satu sspesific idea yang khas yang menancap di benak konsumen.
Di akhir 1980 dan awal 1990 memperlihatkan kemunculanTv Kabel dan MTV, sebagai bagian darinya. Sebagai Pionir dalam konsep musik-video, Pelayanan MTV merupakan sebuah tipe periklanan yang baru. Konsumen lebih menyimak pesan yang diiklankan MTV dibandingkan dengan membeli setelah mendapat informasi dari media lain. Saat tv kabel dan tv satelit mengalami peningkatan secara umum, beberapa saluran berada di posisi puncak, termasuk saluran yang seluruh durasinya berisi iklan seperti QVC, Home Shopping Network, dan Shop Tv.
Sejarah Periklanan Indonesia
Setelah sejarah periklanan di dunia, kita dapat melihat dampaknya melalui sejarah periklanan yang dialami bangsa kita sendiri. Awal mula pemanfaatan iklan di Hindia Belanda dimulai dari penggunan teknologi percetakan. Percetakan mulai dikenal saat Belanda datang. Tahun 1602 para pedagang besar dan penguasa belanda bergabung dalam organisasi dagang VOC ( Verenigde Nederlandsche Oost-Indische Compagnie). Kesadaran akan pentingnya pers membuat VOC, dan para misionaris mendatangkan percetakan. VOC menggunakannya untuk mencetak peraturan sedangkan misionaris untuk menerbitkan litertur agama dalam bahasa daerah.
Pada tahun 1615 terbit sebuah berkala dengan tulisan tangan, Memorie De Nouvelles. Sejak abad ke-16 Belanda merupakan pusat penulisan silografi (tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan tangan ini dipergunakan oleh Jan Pieterzoon Coen, pendiri Batavia dan Gubernur Jendral Hindia Belanda tahun 1619-1629, untuk mengirim berita kepada pemerintah setempat di Ambon dalam , Memorie De Nouvelles. Tulisan tangan yang indah tersebut ternyata refleksi dari naluri bersaing pemerintah Hindia Belanda dengan Portugis. Coen “menulis” iklan untuk melawan perdagangan portugis. Jan Pieterzoon Coen dianggap sebagai perintis penggunaan iklan di Hindia Belanda.
Isi tulisan Coen berupa kutipan surat-surat, salinan berita surat kabar yang terbit di Eropa, peraturan-peraturan penting, dan sebagainya. Lebih dari satu abad setelah Jan Pieterzoon Coen meninggal, tulisan tangannya diterbitkan kemali di suratkabar bataviasche Nouvelles yang merupakan surat kabar pertama yang diterbitkan pada masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem ‘Baron Van Imhoff pada 8 Agustus 1744. Surat kabar tersebut dapat dikatakan sebagai lembaran iklan, karena sebagian besar yang dimuat adalah iklan perdagangan, pelelangan, dan pengumuman-pengumuman penting pemerintah VOC. Dengan demikian, iklan yang dimuat merupakan iklan pertama di Hindia Belanda. Hal ini menunjukan bahwa surat kabar dan iklan lahir bersamaan, sejak itu pula penerbitan pers bermunculan yang disertai dan disokong dengan iklan.
Bataviasche Nouvelles yang berorientasi pada iklan tersebut tampaknya membuat khawatir dewan direktur VOC. Mereka takut pesaing Eropa akan memanfaatkan informasi tentang kondisi perdagangan di Hindia Belanda, yang hal tersebut bisa mengganggu monopoli VOC. Bataviasche Nouvelles akhirnya berhenti terbit pada 20 Juni 1746 meski baru 2 tahun beroperasi.
Kabutuhan akan media informasi untuk mempublikasikan berita pelelangan yang diselenggarakan VOC sudah tidak terelakan lagi, pada tahun 1776 pemerintah memberi izin L. Dominicus, seorang ahli percetakan di Batavia, untuk menerbitkan sebuah surat kabar. Kemudian lahirlah surat kabar mingguan Het Vendunieuws ( berita lelang). Semua pelelangan yang diselenggarakan oleh perusahaan dagang di bawah naungan VOC diiklankan secara gratis di surat kabar tersebut, sementara di luar perusahaan VOC dikenakan biaya.
Pada 31 Desember 1799, VOC secara resmi dialihkan kepada Bataafse Republiek ( pemerintahan Belanda di bawah kependudukan Prancis ). Het Vendunieuws menghentikan penerbitannya pada 1809. Kemudian Gubernur Jenderal Herman Willemo Daendels menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, yang digunakan untuk menyiarkan semua tindakan pemerintah sejauh yang menyangkut kepentingan umum. Edisi pertama terbit pada 15 Januari 1810. Kemudian Bataviasche Koloniale Courant tutup persis seminggu sebelum armada Inggris menaklukan Batavia pada 1811. Pada 29 Februari 1812 pemerintah Inggris menerbitkan surat kabar mingguan Java Gouverment Gazette yang dicetak oleh A.H Hubbard. Surat kabar ini berisi tentang perseteruan Inggris dan Belanda, berita-berita dari Eropa, dan berbagai artikel tentang kehidupan dan adat istiadat anak negeri. Inggris berkuasa hingga tahun 1816 selanjutnya Java Gouverment Gazette berganti nama menjadi Bataviasche Courant yang terbit pada 20 Agustus 1816.
Selain di Batavia, ada beberapa surat kabar lainnya yang terbit. Surat kabar minguuan Soerabayasche Courant di Surabaya, yang empat tahun kemudian menjadi surat kabar harian. Di Semarang, E. Herman de Groot menerbitkan surat kabar mingguan Semarangsch Nieuws en Advertentiebald tahun 1845, kemudian berganti nama menjadi De Locomotief dan terbit sebagai harian. De Locomotief merupakan surat kabar yang mempunyai pengaruh yang besar bagi pembaharuan politik kolonial.
Iklan Media Pertama
Pemanfaatan iklan sudah lama dikenal oleh pengelola surat kabar. Surat kabar Bintang Timoor ( Sumatra) telah menggunkan iklan untuk meluncurkan produknya. Pada penerbitan pertama pada 4 Januari 1865. Selain iklan, bagaimana meraih banyak pelanggan juga tak dikesampingkan oleh para penerbit, tak jarang persaingan sengit sering terjadi antara surat kabar. Contohnya dapat kita lihat antara Biang-Lala dan Mataharie.
Biang-Lala adalah surat kabar mingguan missionaris yang terbit di Batavia pada 1867 dengan menggunakan bahasa Melayu. Biang-Lala sesungguhnya telah menggunakan ilustrasi cukilan kayu, dan menjadikannya koran anak negeri pertama yang bergambar. Biang lala mempunyai citra sebagai alat missionaris, oleh karena itu ia tidak bisa mendapatkan banyak pelanggan.
Keberadaannya kemudian mendapat saingan dari Mataharie. Diterbitkan Bruining dan Wijt di Batavia pertengahan 1868, dan dipimpin oleh Henry Tolson. Mataharie mendapat dukungan kuat dari pengiklan di Batavia. Surat kabar ini memuat semua jenis iklan tanpa membebankan biaya apapun untuk menyaingi Biang-Lala.
Surat kabar Bumi putera yang memanfaatkan iklan sebagai penunjang pemasaran adalah Tjabaja Siang. Surat kabar ini terbit bulanan di Minahasa (Sulawesi Utara) tahun 1868. Surat kabar ini berisi tentang orientasi agama Kristen.
            Brosur-Brosur Pertama
Pertumbuhan iklan di Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh modal swasta yang masuk ke perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Javaasche Bank menggunakan barang-barang cetakan untuk mengundang modal asing ke Hindia Belanda. Brosur dan Buklet perkenalan mereka umumnya dicetak di percetakan G.C.T. van Dorp & Co, percetakan komersial pertama di Hindia Belanda yang mempunyai rumah cetak di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Selain brosur, perusahaan-perusahaan komersial juga menggunakan media periklanan. Untuk menarik perhatian, mulai menggunakan iklan display. Iklan display pertama, menggunakan kekuatan bahasa gambar dalam rancangan desain grafis, adalah iklan pelayaran Nederlandsch-Indische Stoomvart Maarschappij yang dimuat di De Locomotif pada 20 Oktober 1870.


Biro Reklame sebagai Agen Distribusi Produk
Biro reklame pertama yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa adalah NVljong Hok Long pada 1901 yang kemudian diikuti oleh Bureau Rekiame Lauw Djin — keduanya berdomisili di Solo. Selanjutnya disusul oleh biro-biro reklame di Semarang seperti Liem Eng Tjang & Co.,Tjioe Twan Ling, dan Ko Tioen Siang.Tjong Hok Long dan Lauw Djin awalnya sering memproduksi iklan-iklan batik yang tergabung dalam perusahaan Kong Sing. Modal maupun peralatan produksi biro-biro reklame ini masih sangat sederhana. Iklan-iklan yang dihasilkan umumnya tetap menggunakan tulisan tangan, dan produk-produk yang diiklankan terbatas pada kebutuhan masyarakat sehari-hari, seperti batik, sabun,rokok, dan obat-obatan.
Rintisan Biro Reklame Bumiputera
Kemunculan biro reklame milik bumiputera diawali dan kemunculan klien-klien perusahaan rokok dan batik. lklan-iklan mereka bahkan cukup maju karena telah berhasil menampilkan unsur persuasi yang sejajar dengan kebutuhan informasi produk. Khususnya karena masa itu banyak orang belum menyadari bahwa unsur informasi bagi konsumen sama penting dengan unsur persuasi bagi produsen. Dengan perkataan lain, ciri iklan adalah lebih menjadikannya sebagai sarana informasi, akibat tidak adanya akses informasi lain tentang produk atau produsen yang dapat diperoleh masyarakat.

Biro reklame bumiputera yang pertama adalah Medan Prijaji mluk R.M.Tirtoadisoerjo, yang menangani produk rokok dan batik. Tetapi biro reklame yang terkenal adalah NV Hardjo Soediro. NV Hardjo Soediro yang sering mena-ngani produk rokok merancang iklan berikut ini untuk suratkabar SinarHindia, 20 Juli 1916:

Rokok Kiobot.
Selarnanja selaloe sedia Rokok-Kiobot bikinan Djokja. Klobotnja terpilih jang moeda dan manis bikinan rapi, boleh dapet dan ternbaco Kedoe dan siloek No. I.
1.000 batang model pandjang harga f 2, 1.000 batang model pendek harga 11,60. Lain onkost kirim.
Pesenan 5.000 batang dikirirn franco, boleh kirim oewang lebih doeloe atawa rembours.
Toenggoe pesenan N.y Hardjo Soediro Djojonegaran, Djogja

Ciri iklan-iklan yang sekadar meringkas informasi tidak terlepas dan struktur masyarakat dan situasi sellers market (pembeli mencari barang) di masa itu. Lebih-lebih lagi,karena hampir seluruh produk kebutuhan sehari-hari masyarakat,dari sabun hingga mobil, diimpor dari Eropa, khususnya dan Negeri Belanda.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
Asosiasi perusahaan periklanan yang pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan nama Bond van Reclame Bureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia disebut Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama resminya justru yang berbahasa Belanda, karena pada waktu itu sebagian besar pelaku di industri periklanan adalah orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda. Demikian juga para pengurusnya adalah orang-orang belanda dan keturunannya. Baru setelah PBRI diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada tahun 1957 diputuskan perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru itu juga dilekukan penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”.
Napis adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang ternyata berhasil memimpin PBRI secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa 1970-an. Napis sendiri ternyata sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan tahun, dan menganggap bahwa situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal yang tidak demokratis.
Pada tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di antara anggota PBRI untuk memilih ketua yang baru, di samping juga meminta usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan perubahan kebijakan dan strategi. Namun, ternyata referendum itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Napis tetap secara aklamasi diterima sebagai ketua PBRI.
Pada tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba merasa perlu untuk mengatur industri periklanan. Harsono yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen penerangan, memprakarsai diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum nasional resmi pertama yang diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan arah industri periklanan. Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan wahid Hasyim, Jakarta Pusat, dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey, Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang ketika itu juga Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan.
Dalam kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI adalah satu-satunya wadah perusahaan periklanan yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan ini tampaknya didorong oleh kenyataan telah hadirnya berbagai perusahaan periklanan yang disponsori pihak asing, dan tidak merasa berkepentingan untuk menjadi anggota PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri Perdagangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan yang melarang kehadiran perusahaan periklanan asing di Indonesia, namun kenyataannya praktik “Ali Baba” tetap menghadirkan banyak negara asing di industri periklanan Indonesia. Pernyataan Pemerintah itu membuat hampir semua perusahaan periklanan yang baru didirikan sekitar 1970-an kemudian mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI.
Seminar periklanan itu juga memuncukan napas dan harapan baru akan munculnya generasi modern periklanan Indonesia. Keinginan untuk berorganisasi secara serius pun mulai tampak hidup. Napis pun semakin berharap bahwa penggantinya akan segera muncul.
Kebetulan, pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian Advertising Congress (AAC) VIII di Bangkok. Masih dengan semangat Seminar Periklanan, beberapa tokoh periklanan Indonesia pun segera berangkat menghadiri kongres tersebut. Mereka antara lain adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto, Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan Yo Wijayakusumah. Tidak tanggung-tanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu secara nekat juga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun 1974. hebatnya lagi, usulan itu ternyata diterima. Pertumbuhan pesat industri periklanan Indonesia tentulah menjadi faktor pembobot yang menghasilkan keputusan itu.
Semangat untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang membuat insan periklanan Indonesia semakin membulatkan tekad untuk berorganisasi secara rapi. Pada tanggal 20 Desember 1972, bertempat di restoran Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir. H. Juanda III/23, jakarta Pusat, diselenggarakan Rapat Anggota PBRI. Rapat itu juga dihadiri Direktur Bina Pers dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek Atmadi. Rapat itu mengagendakan pemilihan pengurus baru, serta membahas kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi periklanan dengan visi dan lingkup yang lebih luas. Abdul Maeid Chandra, seorang putra Madura aktivis PBRI yang memiliki stasiun radio Trinanda Chandra dan perusahaan perilanan dengan nama yang sama, akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum. Di jajaran pengurus tercatat beberapa orang tokoh periklanan Indonesia, seperti: Savrinus Suardi, Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo Wijayakusumah. Mereka adalah muka-muka baru yang sebelumnya bukan merupakan aktivis PBRI.
Rapat Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan pembentukan asosiasi yang baru dengan nama Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dengan pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah ”biri reklame” yang berbau kebelanda-belandaan, digantikan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk mengganti istilah ”biro reklame” juga didasari pada kenyataan bahwa tukang pembuat stempel di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai biro reklame. Pada saat didirikan, PPPI beranggotakan 30 perusahaan periklanan. Sahrial Djalil AdForce menyumbangkan logo bagi asosiasi yang baru itu. PPPI juga segera merumuskan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang baru untuk menampung aspirasi periklanan modern.









Daftar Pustaka
1.      PPPI. 1993. Reka Reklame. Jakarta : PT Agromedia Pustaka.
2.      Winarno, Bondan. 2008. Rumah Iklan. Jakarta : PT Gramedia