Seiring dengan perkembangan
manusia, kita sering melihat iklan yang unik, lucu, ataupun seringkali menjadi
hal yang aneh untuk dilihat. Perkembangan teknologi yang semakin canggih pun
menunjang untuk membuat para konseptor iklan menjadi semakin mudah dan leluasa
dalam merealisasikan ide-ide mereka untuk membuat berbagai macam iklan berikut
efek ataupun desain yang diinginkan oleh konseptor. Tak jarang iklan yang ada
saat ini sudah menjadi hal yang sangat wajib untuk para pengusaha mempromosikan
produk mereka, pemerintah menginfokan iklan layanan masyarakat, untuk
menginformasikan sebuah acara, ataupun hal-hal lainnya. Ternyata iklan atau advertising sudah
ada sejak zaman dulu. Advertising dilakukan dalam berbagai bentuk
“mempublikasikan” berbagai peristiwa (event) dan
tawaran (offers). Metode iklan pertama yang dilakukan oleh manusia
sangat sederhana. Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di
gerbang kota menawarkan barangnya pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut.
Iklan sudah dikenal manusia dalam bentuk pesan berantai yang bentuknya
pengumuman-pengmuman. Pesan berantai itu disampaikan dari mulut ke mulut untuk
membantu kelancaran proses jual-beli.
Iklan
tertulis mulai ditemukan pada masa Babylonia 3000 SM berupa kepingan tanah liat
(clay tablet) bertuliskan prasasti tentang dealer salep (ointment dealer), juru
tulis (scribe) dan pembuat sepatu. Peninggalan Mesir dan Yunani Kuno berupa
pengumuman-pengumuman di dinding dan naskah di daun papirus, memberikan
pengumuman tentang datangnya kapal pembawa anggur, rempah-rempah, logam,
barang-barang dagangan baru, acara-acara (pertarungan gladiator) yang bakal
digelar, budak yang lari dari tuannya. Orang-orang Roma mengecat dinding
untuk mengumumkan perkelahian gladiator. Iklan pada jaman ini hanya berupa
surat edaran. Karena masih banyak yang buta huruf, pengumuman-pengumuman itu
dibacakan oleh tukang teriak (town crier) yang biasa didampingi pemain musik.
Terakota
Yunani dan Romawi Kuno sudah digunakan untuk mengumumkan lost & found. Di
reruntuhan kota Pompeii terdapat tanda-tanda di terakota yang mengiklankan apa
yang dijual di toko : danging sapi (row of hams), sapi penghasil susu, kulit
untuk sepatu. Disaping itu
juga ditemukan bukti-bukti adanya pesan-pesan politik.
Orang-orang Ponosea melukis gambar untuk
mempromosikan perangkat keras mereka di batu-batu besar di sepanjang jalur
parade. Di Pompei misalkan, banyak lukisan seorang tokoh
politisi dan meminta dukungan suara dari masyarakat. Di Perancis, traditional
advertising sudah marak tahun 550Sebelum Masehi untuk
mengiklankan kaum negro sebagai budak.
Pada zaman Julius Caesar di eropa banyak toko dan
penginapan yang sudah pakai tanda, papan nama, atau simbol, untuk membantu
mereka yang buta huruf. Misalnya penginapan dengan simbol
Man in The Moon, Three Squirrels, Hole in The Wall. Untuk ribuan tahun-tahun
awal, orang beriklan untuk mempromosikan dua hal, tempat dan jasa. Iklan di
bawah ini adalah contoh pertama. Begitu juga plang di depan kedai minum dan
penginapan. Demikian pula berbagai gambar di batu cadas(rock paintings) di
berbagei situs lama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan kehadiran
“iklan” di masa lalu.
Masa setelah ditemukannya mesin cetak
Penemuan mesin cetak Gutenberg 1450 meningkatkan angka
melek huruf sehingga merangsang orang untuk berbisnis iklan. Periklanan jadi bisnis massal. Bentuk awalnya berupa
poster,handbill (selebaran), dan iklan baris (classified) di surat kabar.
Pada tahun 1472 William Caxton di London mencetak iklan berbahasa
Inggris pertama berupa selebaran (handbill) berisi tuntunan keagamaan tentang
perayaan paskah (rules for the guidance of the clergy at easter). Versi lain
mengatakan iklannya berupa penjualan injil (prayer book). Awal abad 16 dan 17
yang banyak ditampilkan adalah iklan tentang budak belian, kuda buku, obat.
Sebagai bentuk printed advertising, periklanan berkembang
di awal abad 15-16. Beberapa waktu kemudian mulai muncul metode iklan
dengan tulisan tangan dan dicetak di kertas besar yang berkembang di Inggris.
Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial Intelligencer
Maret 1648.
Pada tahun 1622 Surat kabar terbit di Inggris terbit untuk pertama
kalinya,The Weekly News kemudian disusul The Tattler yang terbit tahun 1709 dan
The Spectator yang terbit pada 1711. Ketiga Koran ini merupakan media cetak
yang membawa lembaran iklan secara piggy-back.
Pada tahun 1655 istilah iklan (advertisement) muncul pertama kali
dalam injil untuk menunjuk istilah “peringatan”/“pemberitahuan” (warning/
notification). Pada tahun 1660 mulai istilah itu dipaka untuk keperluan informasi
komersial (commercial information), khususnya oleh para saudagar
toko.Pesan-pesan iklan lama kehalaman semakin simple dan inovatif sejak tahun
1700 dan 1800-an. Pada tahun 1690 lahir Public Occurencs Both Foreign and Dometic,
Koran (tidak harian) pertama di Amerika hanya membuat satu berita (issue).
Periklanan
secara nyata mulai menunjukkan kemajuan di awal abad 17 di Inggris untuk mempromosikan
buku dan Koran yang mulai berkembang.Pada abad ke-17 di Inggris, pesan-pesan
komersial masih berbentuk poster atau selebaran lepas yang dikirim dalam
lipatan surat kabar. Produk
yang paling banyak diiklankan pada masa ini adalah buku dan obat-obatan.
Pada tahun 1704 Boston Newsletter, koan AS pertama yang muat iklan,
berupa tawaran hadiah bagi yang bisa menangkap pencuri baju.
Iklan-iklan media cetak pada abad 18 umumnya ditunjukan
pada sasaran pembaca di Eropa yang menyebutkan adanya tanah-tanah garapan yang
menantang untuk masa depan di Amerika. Salah satunya iklan ada tanah 150 ha di
Philadelphia. Pada tahun 1729 Iklan
pertama di surat kabar “ Pennysilvania Gazette” yang terbit di Amerika Serikat.
Amerika waktu itu masih menjadi wilayah jajahan Inggris, dan surat kabar yang
didirikan oleh Benjamin Franklin itu berhasil mencapai tiras tertinggi serta
pendapatan iklan terbesar pada masanya.
Pada tahun 1740 poster
cetak outdoor pertama muncul di London (disebut “hoarding”).
Pada tahun 1776 muncul iklan
proklamasi kemerdekaan AS di Pennsylvania Evening Post and Daily Advertiser,
Koran yang terbit secara harian pertama di AS.
Ketika
aktivitas perekonomian mulai meningkat diberbagai penjuru dunia, di abad 18-an,
di Amerika Serikat, periklanan mulai mendapat perhatian besar. Beberapa
toko di Eropa mulai berfungsi sebagai agen yang mengumpulkan iklan untuk surat
kabar. Bisa jadi Sears catalog menjadi inspirasi bagi lahirnya iklan display di
media cetak. Sears adalah pelopor rantai toko (chain stores) di A.S yang
kemudian berkembang menjadi department stores. Kehadiran Sears yang
menjual berbagai barang secara lengkap menggantikan toko-toko serupa berskala
kecil yang pada waktu itu disebut dengan mercantile.
Untuk
memudahkan pelanggan, karena pada masa itu transportasi masih terbatas, Sears
menerbitkan katalog tentang semua barang yang dijual dan para langganan dapat
memesan melalui pos (mail order). Setiap barang yang ditawarkan ditampilkan secara menarik dengan foto-foto
dan gambar-gambar yang atraktif. Begitu populernya Sears Catalog di masa lalu,
sampai-sampai ia disebut sebagai Injil Petani (Farmers Bible)
Tampilan dan peragaan produk seperti di Sears Catalog
itulah yang kemudian dijumpai di berbagai surat kabar dan majalah di Amerika
Serikat, serta kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di masa kini penampilan
seperti itu sering disebut sebagai display advertising (iklan komersial). Pada
abad ke-19 mulai dikenal pembelian ruang iklan melalui agen perseorangan
(menyalurkan lagi ke perusahaan periklanan). Pada masa dinasti Edo di Jepang,
awal abad-19 selebaran yang didistribusikan bersama surat kabar juga banyak
membawa pesan-pesan komersial, khususnya tentang obat-obatan. Pertumbuhan
ekonomi dunia yang mulai bergerak pesat pada awal abad ke-19 akhirnya memicu
hadirnya iklan di surat kabar amerika Serikat, beberapa surat kabar mulai
memuat pesan-pesan singkat tentang produk, tampil dengan huruf-huruf kecil di
dalam kotak, di antara berita dan Tulsan lain. Iklan yang saat ini disebut
sebagai classified advertisement ini mempromosikan berbagai jenis barang dan
jasa. Advertising
modern sendiri yang mulai berkembang tahun 1960an, jauh berbeda dengan
advertising masa lampau. Pada tahun ini, periklanan menemukan bentuknya yang
modern dengan karya-karya kreatif yang menakjubkan. Perintis iklan dengan
landasan karya kreatif yang digarap secara apik ini dipelopori oleh seri iklan
mobil kodok volkswagen yang menampilkan judul-judul seperti “Think
Small“ dan “ Lemon.“ Iklan-iklan Volkswagen inilah yang
meletakkan dasar positioning dan uniqe sallingproposition (USP)
dalam periklanan yang masih dipegang hingga kini. Konsep ini mengikat
(associate) setiap brand dengan satu sspesific idea yang khas yang menancap di
benak konsumen.
Di akhir 1980 dan awal 1990 memperlihatkan kemunculanTv
Kabel dan MTV, sebagai bagian darinya. Sebagai Pionir dalam konsep musik-video,
Pelayanan MTV merupakan sebuah tipe periklanan yang baru. Konsumen lebih
menyimak pesan yang diiklankan MTV dibandingkan dengan membeli setelah mendapat
informasi dari media lain. Saat tv kabel dan tv satelit mengalami peningkatan
secara umum, beberapa saluran berada di posisi puncak, termasuk saluran yang
seluruh durasinya berisi iklan seperti QVC, Home Shopping Network, dan Shop Tv.
Sejarah
Periklanan Indonesia
Setelah
sejarah periklanan di dunia, kita dapat melihat dampaknya melalui sejarah
periklanan yang dialami bangsa kita sendiri. Awal mula pemanfaatan iklan di
Hindia Belanda dimulai dari penggunan teknologi percetakan. Percetakan mulai
dikenal saat Belanda datang. Tahun 1602 para pedagang besar dan penguasa
belanda bergabung dalam organisasi dagang VOC ( Verenigde Nederlandsche
Oost-Indische Compagnie). Kesadaran akan pentingnya pers membuat VOC, dan para
misionaris mendatangkan percetakan. VOC menggunakannya untuk mencetak peraturan
sedangkan misionaris untuk menerbitkan litertur agama dalam bahasa daerah.
Pada tahun 1615 terbit
sebuah berkala dengan tulisan tangan,
Memorie De Nouvelles. Sejak abad ke-16 Belanda merupakan pusat penulisan
silografi (tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan tangan ini dipergunakan oleh
Jan Pieterzoon Coen, pendiri Batavia dan Gubernur Jendral Hindia Belanda tahun
1619-1629, untuk mengirim berita kepada pemerintah setempat di Ambon dalam , Memorie De Nouvelles. Tulisan tangan
yang indah tersebut ternyata refleksi dari naluri bersaing pemerintah Hindia
Belanda dengan Portugis. Coen “menulis” iklan untuk melawan perdagangan
portugis. Jan Pieterzoon Coen dianggap sebagai perintis penggunaan iklan di
Hindia Belanda.
Isi
tulisan Coen berupa kutipan surat-surat, salinan berita surat kabar yang terbit
di Eropa, peraturan-peraturan penting, dan sebagainya. Lebih dari satu abad
setelah Jan Pieterzoon Coen meninggal, tulisan tangannya diterbitkan kemali di
suratkabar bataviasche Nouvelles yang
merupakan surat kabar pertama yang diterbitkan pada masa Gubernur Jenderal
Gustaaf Willem ‘Baron Van Imhoff pada 8 Agustus 1744. Surat kabar tersebut
dapat dikatakan sebagai lembaran iklan, karena sebagian besar yang dimuat
adalah iklan perdagangan, pelelangan, dan pengumuman-pengumuman penting
pemerintah VOC. Dengan demikian, iklan yang dimuat merupakan iklan pertama di
Hindia Belanda. Hal ini menunjukan bahwa surat kabar dan iklan lahir bersamaan,
sejak itu pula penerbitan pers bermunculan yang disertai dan disokong dengan
iklan.
Bataviasche
Nouvelles yang berorientasi pada iklan tersebut tampaknya membuat khawatir
dewan direktur VOC. Mereka takut pesaing Eropa akan memanfaatkan informasi
tentang kondisi perdagangan di Hindia Belanda, yang hal tersebut bisa
mengganggu monopoli VOC. Bataviasche Nouvelles akhirnya berhenti terbit pada 20
Juni 1746 meski baru 2 tahun beroperasi.
Kabutuhan
akan media informasi untuk mempublikasikan berita pelelangan yang
diselenggarakan VOC sudah tidak terelakan lagi, pada tahun 1776 pemerintah
memberi izin L. Dominicus, seorang ahli percetakan di Batavia, untuk
menerbitkan sebuah surat kabar. Kemudian lahirlah surat kabar mingguan Het
Vendunieuws ( berita lelang). Semua pelelangan yang diselenggarakan oleh
perusahaan dagang di bawah naungan VOC diiklankan secara gratis di surat kabar
tersebut, sementara di luar perusahaan VOC dikenakan biaya.
Pada
31 Desember 1799, VOC secara resmi dialihkan kepada Bataafse Republiek (
pemerintahan Belanda di bawah kependudukan Prancis ). Het Vendunieuws
menghentikan penerbitannya pada 1809. Kemudian Gubernur Jenderal Herman Willemo
Daendels menerbitkan Bataviasche
Koloniale Courant, yang digunakan untuk menyiarkan semua tindakan
pemerintah sejauh yang menyangkut kepentingan umum. Edisi pertama terbit pada
15 Januari 1810. Kemudian Bataviasche
Koloniale Courant tutup persis seminggu sebelum armada Inggris menaklukan
Batavia pada 1811. Pada 29 Februari 1812 pemerintah Inggris menerbitkan surat
kabar mingguan Java Gouverment Gazette yang dicetak oleh A.H Hubbard. Surat
kabar ini berisi tentang perseteruan Inggris dan Belanda, berita-berita dari
Eropa, dan berbagai artikel tentang kehidupan dan adat istiadat anak negeri. Inggris
berkuasa hingga tahun 1816 selanjutnya Java Gouverment Gazette berganti nama
menjadi Bataviasche Courant yang terbit pada 20 Agustus 1816.
Selain
di Batavia, ada beberapa surat kabar lainnya yang terbit. Surat kabar minguuan
Soerabayasche Courant di Surabaya, yang empat tahun kemudian menjadi surat
kabar harian. Di Semarang, E. Herman de Groot menerbitkan surat kabar mingguan Semarangsch
Nieuws en Advertentiebald tahun 1845, kemudian berganti nama menjadi De
Locomotief dan terbit sebagai harian. De Locomotief merupakan surat kabar yang
mempunyai pengaruh yang besar bagi pembaharuan politik kolonial.
Iklan Media Pertama
Pemanfaatan
iklan sudah lama dikenal oleh pengelola surat kabar. Surat kabar Bintang Timoor
( Sumatra) telah menggunkan iklan untuk meluncurkan produknya. Pada penerbitan
pertama pada 4 Januari 1865. Selain iklan, bagaimana meraih banyak pelanggan
juga tak dikesampingkan oleh para penerbit, tak jarang persaingan sengit sering
terjadi antara surat kabar. Contohnya dapat kita lihat antara Biang-Lala dan
Mataharie.
Biang-Lala
adalah surat kabar mingguan missionaris yang terbit di Batavia pada 1867 dengan
menggunakan bahasa Melayu. Biang-Lala sesungguhnya telah menggunakan ilustrasi
cukilan kayu, dan menjadikannya koran anak negeri pertama yang bergambar. Biang
lala mempunyai citra sebagai alat missionaris, oleh karena itu ia tidak bisa
mendapatkan banyak pelanggan.
Keberadaannya
kemudian mendapat saingan dari Mataharie. Diterbitkan Bruining dan Wijt di
Batavia pertengahan 1868, dan dipimpin oleh Henry Tolson. Mataharie mendapat
dukungan kuat dari pengiklan di Batavia. Surat kabar ini memuat semua jenis
iklan tanpa membebankan biaya apapun untuk menyaingi Biang-Lala.
Surat
kabar Bumi putera yang memanfaatkan iklan sebagai penunjang pemasaran adalah
Tjabaja Siang. Surat kabar ini terbit bulanan di Minahasa (Sulawesi Utara)
tahun 1868. Surat kabar ini berisi tentang orientasi agama Kristen.
Brosur-Brosur Pertama
Pertumbuhan
iklan di Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh modal swasta yang masuk ke
perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Javaasche Bank menggunakan
barang-barang cetakan untuk mengundang modal asing ke Hindia Belanda. Brosur
dan Buklet perkenalan mereka umumnya dicetak di percetakan G.C.T. van Dorp
& Co, percetakan komersial pertama di Hindia Belanda yang mempunyai rumah
cetak di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Selain brosur, perusahaan-perusahaan
komersial juga menggunakan media periklanan. Untuk menarik perhatian, mulai
menggunakan iklan display. Iklan display pertama, menggunakan kekuatan bahasa
gambar dalam rancangan desain grafis, adalah iklan pelayaran
Nederlandsch-Indische Stoomvart Maarschappij yang dimuat di De Locomotif pada
20 Oktober 1870.
Biro Reklame sebagai
Agen Distribusi Produk
Biro
reklame pertama yang dimiliki oleh keturunan Tionghoa adalah NVljong Hok Long
pada 1901 yang kemudian diikuti oleh Bureau Rekiame Lauw Djin — keduanya
berdomisili di Solo. Selanjutnya disusul oleh biro-biro reklame di Semarang
seperti Liem Eng Tjang & Co.,Tjioe Twan Ling, dan Ko Tioen Siang.Tjong Hok
Long dan Lauw Djin awalnya sering memproduksi iklan-iklan batik yang tergabung
dalam perusahaan Kong Sing. Modal maupun peralatan produksi biro-biro reklame
ini masih sangat sederhana. Iklan-iklan yang dihasilkan umumnya tetap
menggunakan tulisan tangan, dan produk-produk yang diiklankan terbatas pada
kebutuhan masyarakat sehari-hari, seperti batik, sabun,rokok, dan obat-obatan.
Rintisan Biro Reklame
Bumiputera
Kemunculan biro
reklame milik bumiputera diawali dan kemunculan klien-klien perusahaan rokok dan batik. lklan-iklan
mereka bahkan cukup maju karena telah berhasil menampilkan unsur persuasi yang
sejajar dengan kebutuhan informasi produk. Khususnya karena masa itu banyak
orang belum menyadari bahwa unsur informasi bagi konsumen sama penting dengan
unsur persuasi bagi produsen. Dengan perkataan lain, ciri iklan adalah lebih
menjadikannya sebagai sarana informasi, akibat tidak adanya akses informasi
lain tentang produk atau produsen yang dapat diperoleh masyarakat.
Biro reklame bumiputera yang pertama adalah Medan Prijaji mluk
R.M.Tirtoadisoerjo, yang menangani produk rokok dan batik. Tetapi biro reklame
yang terkenal adalah NV Hardjo Soediro. NV Hardjo Soediro yang sering
mena-ngani produk rokok merancang iklan berikut ini untuk suratkabar SinarHindia, 20
Juli 1916:
Rokok Kiobot.
Selarnanja selaloe sedia Rokok-Kiobot bikinan Djokja. Klobotnja terpilih jang
moeda dan manis bikinan rapi, boleh dapet dan ternbaco Kedoe dan siloek No. I.
1.000 batang model pandjang harga f 2, 1.000 batang model pendek harga 11,60.
Lain onkost kirim.
Pesenan 5.000 batang dikirirn franco, boleh kirim oewang lebih doeloe atawa
rembours.
Toenggoe pesenan N.y Hardjo Soediro Djojonegaran, Djogja
Ciri
iklan-iklan yang sekadar meringkas informasi tidak terlepas dan struktur
masyarakat dan situasi sellers market (pembeli mencari barang)
di masa itu. Lebih-lebih lagi,karena hampir seluruh produk kebutuhan
sehari-hari masyarakat,dari sabun hingga mobil, diimpor dari Eropa, khususnya
dan Negeri Belanda.
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)
Asosiasi
perusahaan periklanan yang pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan
nama Bond van Reclame Bureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia disebut
Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama resminya justru yang berbahasa
Belanda, karena pada waktu itu sebagian besar pelaku di industri periklanan
adalah orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda. Demikian juga para
pengurusnya adalah orang-orang belanda dan keturunannya. Baru setelah PBRI
diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada tahun 1957 diputuskan
perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru itu juga dilekukan
penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”.
Napis
adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang ternyata berhasil memimpin PBRI
secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa 1970-an. Napis sendiri ternyata
sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan tahun, dan menganggap bahwa
situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal yang tidak demokratis.
Pada
tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di antara anggota PBRI untuk
memilih ketua yang baru, di samping juga meminta usulan perubahan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan perubahan kebijakan dan strategi.
Namun, ternyata referendum itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Napis
tetap secara aklamasi diterima sebagai ketua PBRI.
Pada
tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba merasa perlu untuk mengatur
industri periklanan. Harsono yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal
Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen penerangan, memprakarsai
diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum nasional resmi pertama yang
diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan arah industri periklanan.
Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan wahid Hasyim, Jakarta
Pusat, dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey, Ketua Umum Serikat
Penerbit Suratkabar (SPS) yang ketika itu juga Pemimpin Umum Harian Sinar
Harapan.
Dalam
kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI adalah satu-satunya wadah perusahaan
periklanan yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan ini tampaknya
didorong oleh kenyataan telah hadirnya berbagai perusahaan periklanan yang
disponsori pihak asing, dan tidak merasa berkepentingan untuk menjadi anggota
PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri Perdagangan Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan yang melarang kehadiran
perusahaan periklanan asing di Indonesia, namun kenyataannya praktik “Ali Baba”
tetap menghadirkan banyak negara asing di industri periklanan Indonesia.
Pernyataan Pemerintah itu membuat hampir semua perusahaan periklanan yang baru
didirikan sekitar 1970-an kemudian mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI.
Seminar
periklanan itu juga memuncukan napas dan harapan baru akan munculnya generasi
modern periklanan Indonesia. Keinginan untuk berorganisasi secara serius pun
mulai tampak hidup. Napis pun semakin berharap bahwa penggantinya akan segera
muncul.
Kebetulan,
pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian Advertising Congress (AAC) VIII di
Bangkok. Masih dengan semangat Seminar Periklanan, beberapa tokoh periklanan
Indonesia pun segera berangkat menghadiri kongres tersebut. Mereka antara lain
adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto, Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul
Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan Yo Wijayakusumah. Tidak
tanggung-tanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu secara nekat juga
menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun 1974. hebatnya lagi,
usulan itu ternyata diterima. Pertumbuhan pesat industri periklanan Indonesia
tentulah menjadi faktor pembobot yang menghasilkan keputusan itu.
Semangat
untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang membuat insan periklanan Indonesia
semakin membulatkan tekad untuk berorganisasi secara rapi. Pada tanggal 20 Desember
1972, bertempat di restoran Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir. H.
Juanda III/23, jakarta Pusat, diselenggarakan Rapat Anggota PBRI. Rapat itu
juga dihadiri Direktur Bina Pers dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan
Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek Atmadi. Rapat itu mengagendakan
pemilihan pengurus baru, serta membahas kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi
periklanan dengan visi dan lingkup yang lebih luas. Abdul Maeid Chandra,
seorang putra Madura aktivis PBRI yang memiliki stasiun radio Trinanda Chandra
dan perusahaan perilanan dengan nama yang sama, akhirnya terpilih sebagai Ketua
Umum. Di jajaran pengurus tercatat beberapa orang tokoh periklanan Indonesia,
seperti: Savrinus Suardi, Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo Wijayakusumah. Mereka
adalah muka-muka baru yang sebelumnya bukan merupakan aktivis PBRI.
Rapat
Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan pembentukan asosiasi yang baru
dengan nama Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dengan
pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah ”biri reklame” yang berbau
kebelanda-belandaan, digantikan dengan istilah yang lebih sesuai dengan
tuntutan zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk mengganti istilah ”biro
reklame” juga didasari pada kenyataan bahwa tukang pembuat stempel di pinggir
jalan pun menyebut diri mereka sebagai biro reklame. Pada saat didirikan, PPPI
beranggotakan 30 perusahaan periklanan. Sahrial Djalil AdForce menyumbangkan
logo bagi asosiasi yang baru itu. PPPI juga segera merumuskan Anggaran Dasar
serta Anggaran Rumah Tangga yang baru untuk menampung aspirasi periklanan
modern.
Daftar Pustaka
1.
PPPI. 1993. Reka Reklame. Jakarta : PT Agromedia Pustaka.
2.
Winarno, Bondan. 2008. Rumah Iklan. Jakarta : PT Gramedia